Setelah membahas mengenai pengertian dropshipping, hukum, dan keuntungan yang didapat dari dropshipping, pada artikel kali ini kami akan membahas mengenai prinsip dropshipping. Kendala yang sering dihadapi serta solusinya.
Berikut beberapa prinsip syariat dalam perniagaan sistem dropshipping yang perlu Anda cermati, yaitu:
Prinsip Pertama: Kejujuran
Berharap mendapat keuntungan dari perniagaan bukan berarti menghalalkan dusta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa kesempatan menekankan pentingnya arti kejujuran dalam perniagaan, di antara melalui sabdanya, “Kedua orang yang terlibat transaksi jual-beli, selama belum berpisah, memiliki hak pilih untuk membatalkan atau meneruskan akadnya. Bila keduanya berlaku jujur dan transparan, maka akad jual-beli mereka diberkahi. Namun bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya keberkahan penjualannya dihapuskan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Prinsip Kedua: Jangan Menjual Barang yang tidak Anda Miliki
Islam sangat menekankan kehormatan harta kekayaan kepada para penganutnya. Karena itu Islam mengharamkan berbagai bentuk tindakan merampas atau pemanfaatan harta orang lain tanpa izin atau kerelaan darinya. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’ 29).
“Tidak halal harta orang Muslim, kecuali atas dasar kerelaan jiwa darinya.” (HR. Ahmad, dan lainnya). Begitu besar penekanan Islam tentang hal ini, sehingga Islam menutup segala celah yang dapat menjerumuskan umat Islam kepada praktik memakan harta saudaranya tanpa alasan yang dibenarkan.
Prinsip Ketiga: Hindari Riba dan Berbagai Celahnya
Sejarah umat manusia telah membuktikan bahwa praktik riba senantiasa mendatangkan kehancuran tatanan ekonomi masyarakat. Wajar bila Islam mengharamkan praktik riba dan berbagai praktik niaga yang dapat menjadi celah terjadinya praktik riba. Di antara celah riba yang telah ditutup dalam Islam adalah dalam hal menjual kembali barang yang telah Anda beli namun secara fisik belum sepenuhnya Anda terima dari penjual.
Belum sepenuhnya Anda terima bisa jadi:
(1) Anda masih satu majelis dengan penjual, atau
(2) Fisik barang belum Anda terima, walaupun Anda telah berpisah tempat dengan penjual.
Pada kedua kondisi tersebut Anda belum dibenarkan menjual kembali barang yang telah Anda beli. Hal ini mengingat kedua kondisi tersebut menyisakan celah terjadinya praktik riba. Sahabat Ibnu Umar Radhiallahu ‘anhuma mengisahkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari menjual kembali setiap barang di tempat barang itu dibeli, hingga barang itu dipindahkan oleh para pembeli ke tempat mereka masing-masing.” (HR. Abu dawud dan Al-Hakim)
Sistem dropshipping pada praktiknya bisa melanggar ketiga prinsip terebut, atau salah satunya, sehingga keluar dari aturan syariat alias haram. Seorang dropshipper bisa aja mengaku sebagai pemiliki barang atau sebagai agen. Padahal kenyataannya tidak demikian. Karena dusta, konsumen menduga ia mendapatkan barang dengan harga murah dan terbebas dari praktik percaloan. Padahal kenyataannya tidak demikian. Andai ia menyadari sedang berhadapan dengan seorang agen atau pihak kedua, bisa saja ia mengurungkan pembeliannya.
Pelanggaran bisa juga berupa dropshipper menawarkan, lalu menjual barang yang belum ia terima. Ini walaupun ia telah membelinya dari supplier. Dengan demikian, dropshipper melanggar larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana tersebut dalam di atas. Atau bisa jadi dropshipper menentukan keuntungan melebihi yang diizinkan supplier. Jelaslah, ulah dropshipper merugikan supplier, karena barang dagangan miliknya telat laku, atau bahkan kehilangan pasar.
Solusi
Agar terhindar dari berbagai pelanggaran-pelanggaran terebut, Anda dapat melakukan salah dari beberapa alternatif berikut ini.
Alternatif Pertama: Sebelum menjalankan sistem dropshipping, terlebih dahulu Anda menjalin kesepakatan kerjasama dengan supplier. Atas kerjasama ini Anda mendapatkan wewenang untuk turut memasarkan barang dagangannya. Atas partisipasi Anda, Anda berhak mendapatkan fee alias upah yang nominalnya telah disepakati bersama. Penentuan fee bisa saja dihitung berdasarkan waktu kerjasama. Atau berdasarkan jumlah barang yang telah Anda jual. Bila alternatif ini yang Anda pilih, berarti Anda bersama supplier menjalin akad ju’alah (jual jasa). Ini salah satu model akad jual-beli jasa yang upahnya ditentukan sesuai hasil kerja, bukan waktu kerja.
Alternatif Kedua: Anda dapat mengadakan kesepakatan dengan calon konsumen. Atas jasa Anda untuk pengadaan barang, Anda mensyaratkan imbalan dalam nominal tertentu. Dengan demikian, Anda menjalankan model usaha jual-beli jasa, atau semacam biro jasa pengadaan barang.
Alternatif Ketiga: Anda dapat menggunakan skema akad salam. Dengan demikian, Anda berkewajiban menyebutkan berbagai kriteria barang kepada calon konsumen, baik dilengkapi dengan gambar barang atau tidak. Setelah ada calon konsumen yang berminat terhadap barang yang Anda tawarkan dengan harga yang disepakati, barulah Anda mengadakan barang. Skema salam barangkali yang paling mendekati sistem dropshipping. Walau demikian, perlu dicatat adanya dua hal penting yang mungkin membedakan di antara keduanya.
1. Dalam skema akad salam, calon konsumen harus membayar tunai alias lunas pada awal akad.
2. Semua risiko selama pengiriman barang hingga barang tiba di tangan konsumen menjadi tanggung jawab dropshipper, dan bukan supplier.
Alternatif Keempat: Anda menggunakan skema akad murabahah lil ‘amiri bissyira’ (pemesanan tidak mengikat). Yaitu ketika ada calon konsumen yang tertarik dengan barang yang Anda pasarkan, segera Anda mengadakan barang tersebut sebelum ada kesepakatan harga dengan calon pembeli. Setelah mendapatkan barang yang diinginkan, segera Anda mengirimkannya ke calon pembeli. Setiba barang di tempat calon pembeli, barulah Anda mengadakan negosiasi penjualan dengannya. Calon pembeli memiliki wewenang penuh untuk membeli atau mengurungkan rencananya.
Mungkin Anda berkata, bila alternatif tersebut yang saya pilih, betapa besar risiko yang harus saya pikul. Betapa susahnya kerja saya. Terlebih bila calon pembeli berdomisi jauh dari tempat tinggal saya.
Apa yang Anda utarakan benar adanya. Karena itu, mungkin alternatif tersebut yang paling sulit untuk diterapkan. Terutama bila Anda menjalankan bisnis secara online. Walau demikian, bukan berarti risiko besar tidak dapat ditanggulangi. Untuk menanggulanginya, sebagai penjual, Anda dapat mensyaratkan hak khiyar (hak pilih membatalkan pembelian) kepada supplier dalam batas waktu tertentu. Dengan demikian, bila calon pembeli batal membeli, Anda dapat mengembalikan barang kepada supplier. Sebagaimana Anda juga dapat mensyaratkan kepada calon pembeli bahwa bila batal membeli, ia menanggung seluruh biaya mendatangkan barang dan mengembalikannya kepada supplier.
Sumber artikel: konsultasisyariah.com dan redaksi
Sumber gambar: bildirgec.org








Belum ada komentar untuk "Dropshipping dalam Islam Part 2"
Posting Komentar