Sebelumnya kita telah membahas perihal tentang bekal apa saja yang wajib dimiliki pedagang online. Pada artikel kali ini, kami akan menjelaskan tentang seluk beluk jual beli. Ada empat alasan mengapa menjual barang sebelum ada serah terima dengan pemilik pertama dilarang.
Pertama, menimbulkan ganjalan hati pada diri pemilik pertama. Hal ini terjadi manakala dia lihat kita bisa menjual kembali barang tersebut dengan mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar dibandingkan keuntungan yang dia dapatkan dalam kondisi barang masih ada di tempatnya.
Kedua, adanya keuntungan tanpa ada kemungkinan sedikit pun untuk merugi dan keuntungan semacam ini adalah suatu hal yang dilarang oleh Nabi.
Ketiga, ada unsur riba sebagaimana alasan yang disampaikan oleh Ibnu Abbas. Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia benar-benar menakarnya.” Thawus bertanya kepada Ibnu Abbas tentang mengapa hal tersebut dilarang. Jawaban Ibnu Abbas, “Yang demikian itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual uang dengan uang, sedangkan bahan makanannya ditunda (sekadar kedok belaka).” (HR Bukhari no 2025 dan Muslim no 3916).
Tentang maksud perkataan Ibnu Abbas ini, Dr Musthofa Dib Bugha mengatakan, “Maksudnya ada seorang yang membeli bahan makanan dari A seharga satu dirham namun uang pembayarannya nanti. Jika bahan makanan tersebut dijual kembali dengan seharga dua dirham sebelum ada serah terima barang dari A maka ini adalah suatu hal yang tidak diperbolehkan karena hal tersebut semakna dengan transaksi uang ditukar dengan uang dan barang makanan yang diperjualbelikan tidak ada. Seakan akan orang tersebut menjual uang satu dirham yang dia pakai untuk membeli bahan makanan dengan dua dirham dan ini adalah riba yang tentu saja tidak diperbolehkan”.
Keempat, barang yang dijual harus jelas identifikasinya
Diantara syarat sahnya transaksi jual beli adalah barang yang diperjualbelikan harus diketahui identifikasinya (ma’lum tidak majhul).
Terkait dengan hal ini jual beli bisa dibagi menjadi beberapa kategori:
Pertama, jual beli barang yang teridentifikasi dengan cara dilihat dan diamati. Hukumnya tentu saja boleh.
Kedua, jual beli barang yang diidentifaksi dengan deskripsi dan penggambaran (ba’I maushuf). Jual beli jenis ini bisa dibagi menjadi dua. barang yang dimaksudkan barang tertentu yang sudah jelas. Jual beli semacam ini diperbolehkan dan ada hak khiyar (membatalkan transaksi atau meneruskannya) saat barang tersebut dilihat namun ternyata tidak sesuai dengan deskripsi yang telah diberikan oleh pembeli menurut pendapat yang paling kuat (tiga imam mazhab selain Syafii, Ta’liq Majid Hamawi untuk Matan Taqrib hal 154).
Barang yang dimaksudkan bukanlah barang tertentu namun barang yang memenuhi kriteria tertentu. Dengan kata lain yang dijual adalah kriteria barang. Transaksi semacam ini disebut transaksi salam dan hukumnya boleh selama syarat syaratnya terpenuhi dengan baik.
Ketiga, jual beli barang tertentu namun saat transaksi pembeli belum melihatnya juga belum mendapatkan deskripsi tentangnya namun ada hak khiyar saat pembeli telah melihat barang tersebut secara langsung. Jual beli semacam ini dilarang oleh Hanabilah dan Syafiiyyah namun diperbolehkan oleh Hanafiyah, Malikiyyah dan Ibnu Taimiyyah (Ighatsah al Jumu’ bi Tarjihat Ibni Utsaimin fil Buyu’ hal 80-81).
“Utsman dan Thalhah memperjualbelikan sesuatu yang berada di Kufah. Utsman mengatakan, ‘Aku punya hak khiyar karena aku menjual sesuatu yang belum aku lihat’. Thalhah mengatakan, ‘Aku punya hak khiyar karena aku membeli sesuatu yang belum aku lihat’. Mereka berdua lantas meminta Jubair bin Muth’im sebagai penengah perselisihan yang terjadi diantara keduanya. Jubair lantas memutuskan bahwa hak khiyar itu hanya dimiliki oleh Thalhah dan tidak dipunyai oleh Utsman” (Syarh Ma’ani Atsar karya Thahawi 4/361). Insya allah pendapat yang kedua dalam hal ini adalah pendapat yang lebih kuat.
Keempat, syarat sah transaksi salam
Salam adalah transaksi jual beli uang duluan barang belakangan dan yang dijual adalah kriteria bukan barang tertentu. Transaksi salam adalah transaksi yang sah manakala tujuh syaratnya terpenuhi: barang yang dijual adalah barang yang jelas dengan sekedar deskripsi
barang dideskripsikan secara detail disebutkan kadar barang (takaran, timbangan atau ukuran)
ada batas waktu yang jelas penyerahan barang barang yang dipesan bukanlah barang yang langka di pasaran pada waktu yang dijanjikan penjual menerima lunas uang pembayaran di majelis transaksi objek transaksi adalah kriteria bukan barang tertentu (Fiqh wa Fatawa al Buyu’ hal 419).
Kelima, syarat sah murabahah
Transaksi murabahah lil amir bis syira’ atau yang tepat disebut dengan akad muwa’adah adalah janji calon pembeli untuk membeli suatu barang manakala barang tersebut telah menjadi milik penjual dan janji calon penjual untuk menjual suatu barang tertentu kepada calon pembeli manaka dia telah memiliki barang yang dimaksudkan.
Transaksi ini diperbolehkan dengan syarat:
Hendaknya praktek yang dilakukan terbebas dari adanya kewajiban untuk menunaikan akad – baik secara tertulis maupun lisan- antara kedua belah pihak sebelum barang dimiliki dan diserahterimakan kepada penjual kedua. Pemesan terbebas dari kewajiban untuk menanggung kerugian apabila terjadi kerusakan pada barang.
Akad jual beli tidak boleh dilaksanakan kecuali setelah penjual memiliki barang tersebut dan barang tersebut telah berpindah tangan ke pihak penjual (Fiqh Nawazil jilid 2 karya Syaikh Bakr Abu Zaid).
Keenam, Tidak boleh jual beli emas secara online
Emas dan perak tidak boleh diperjualbelikan secara online karena syarat mutlak yang harus terpenuhi dalam tukar menukar emas atau perak dengan uang yaitu serah terima barang secara fisik di majelis transaksi dan ini adalah suatu hal yang tidak mungkin bisa diwujudkan dalam transaksi online.
Dari Ubadah bin Shamit, Rasulullah bersabda, ”Jika emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum halus ditukar dengan gandum halus, gandum syair ditukar dengan gandum syair, korma ditukar dengan korma, garam ditukar dengan garam maka timbangan atau takarannya harus sama dan serah terima terjadi di majelis transaksi. Namun jika benda ribawi yang dipertukarkan itu berbeda maka silahkan tukarkan sesuka anda (takaran atau timbangan boleh beda) namun serah terima harus terjadi di majelis transaksi” [HR Muslim no 4147].
Ketujuh, terdapat perbedaan ketentuan antara penjual yang sekaligus produsen, agen resmi, penjual yang memiliki barang dan penjual yang tidak memiliki barang alias sekedar jualan dengan katalog dan gambar.
Sumber artikel: pengusahamuslim.com dan redaksi
Sumber gambar: 1tokoonline.com








Belum ada komentar untuk "Bekal Ilmu yang Wajib Dimiliki Pedagang Online Part II"
Posting Komentar